Berbenah Sistem Pendidikan Tanah Air



                         sumber gambar: nurulazmiyafie.wordpress.com
Sistem pendidikan di tanah air kita ini benar-benar memprihatinkan. Bagaimana tidak, proses belajar yang terjadi lebih mengejar nilai tinggi daripada prosesnya. Tidak peduli materi yang disajikan telah diterima dengan baik atau tidak yang penting ujian terlaksana dan mendapat nilai. Ironis sekali jika kita melihat proses UN (Ujian Nasional) di tanah air kita. Menjelang pelaksanaan UN di setiap sekolah disibukkan dengan latihan soal-soal, tiada waktu tanpa belajar dan waktu untuk bermain anak menjadi terganggu. Hal tersebut secara psikologi tidak baik untuk pertumbuhan mental seorang anak dan hanya akan menjadi sebuah tekanan.
Pengelolaan pendidikan yang terjadi tidak ada kemandirian pada pelajar, maksudnya ujian yang dilakukan tidak sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa, sehingga akan menimbulkan tekanan yang buruk dan hanya akan mengejar target saja. Seharusnya sistem pendidikan tidak hanya pada kemandirian guru saja tetapi kemandirian pada siswa juga. Jadi seorang guru seharusnya selalu menyesuaikan bahan ajarnya dengan kebutuhan setiap siswa. Tidak selayaknya juga pihak yang berwenang dalam pengelolaan pendidikan adalah pemerintah, karena yang tau keadaan dan lalu lintas belajar adalah seorang guru maka alangkah lebih baiknya yang berwenang mengelola sistem pendidikan adalah guru. Karena pemerintah lebih kepada memajukan sektor pendidikan dan memberikan dukungan legalitas dan finansial. Dengan diberlakukan hal tersebut maka dampak positifnya adalah kepada pola mengajar guru yang tidak terlalu dibingungkan dengan persoalan politik.

Seorang guru profesional tentunya akan melahirkan siswa yang berdedikasi tinggi. Ketika siswa melakukan kesalahan apa yang dilakukan seorang guru profesional? Ia akan memberikan motivasi untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Lalu bagaimana jika siswa tersebut melakukan kesalahan lagi? Guru profesional tidak akan membodohkan siswa tapi memberikan kesempatan kedua dan membandingkan dengan kesalahan pertama yang dilakukan siswa. Karena keberhasilan tidak diperoleh dengan membandingkan milik orang lain tetapi bandingkan dengan milik kita yang sebelumnya, seberapa jauh tingkat kemajuan kita.
Setiap siswa sebaiknya percaya dengan kemampuan dirinya. Tingkatan atau ranking hanya akan membuat guru lebih fokus pada siswa tertentu yang dianggap paling baik di dalam kelompok belajar. Mungkin di samping dampak negatif tersebut ranking bisa menjadi motivasi siswa, namun tidak sedikit pula ranking membuat siswa yang kurang mampu menjadi down dan tidak percaya diri.
Kita lihat kembali pada persiapan sekolah menjelang UN. Persiapan yang berlebihan dengan alasan untuk mengukur kemampuan siswa dengan memberikan les tambahan di luar sekolah, padahal fakta yang terjadi nuansa bisnisnya lebih terasa daripada urgensinya pengukuran kemampuan siswa. Dengan demikian apa yang terjadi? Para generasi muda tidak menggunakan otaknya untuk berkreasi karena penuh dengan tekanan.
Inilah setidaknya potret pendidikan kita dewasa ini. Indonesia jatuh kepada tingkat kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Alasannya untuk mencerdaskan bangsa tetapi cara-cara yang dilakukan justru mengantarkan bangsa ini pada lembah kehancuran. Maka dari itu kita perlu berbenah. Mengembalikan sistem pendidikan ke zaman dahulu dimana setiap anak dan orangtua begitu menghormati guru perlu kita lakukan. Guru harus diberi otoritas penuh untuk mengatur kurikulumnya sendiri. Setiap anak juga tidak dibebani dengan seabrek tugas. Bahkan birokrasi pendidikan kita yang berbelit-belit perlahan-lahan harus dikurangi. Wajib belajar 12 tahun mutlak harus dilakukan tentunya dengan biaya gratis. Tidak hanya itu wajar 12 tahun itu harus dengan satu izajah saja yaitu izajah SMA. Sedangkan untuk SD dan SMP tidak lagi mengeluarkan izajah mengingat tuntutan dunia kerja saat ini pun izajah dua jenjang pendidikan ini tidak begitu diperlukan.
Oleh karena itu, perpindahan dari tingkat SD ke SMP cukuplah dengan nilai rapor begitu juga dari SMP ke SMA. Maka evaluasi belajar secara nasional hanya dilakukan di jenjang SMA ketika yang bersangkutan akan melanjut ke perguruan tinggi atau merambah dunia kerja. Menggratiskan pendidikan di negara ini bukanlah hal yang mustahil. Bukankah 40 persen APBN kita mark-up dan 30 persennya dikorupsi. Jadi andai pengelolaan keuangan negara kita ditata dengan baik maka tidak mustahil di masa-masa yang akan datang biaya pendidikan kita yang saat ini ditampung 20 persen dalam APBN kedepannya akan meningkat menjadi 50 persen. Bila sudah demikian, bukankah pendidikan kita sudah bisa digratiskan.
Kita ambil contoh kota Blitar, meskipun Blitar kita kenal sebagai kota kecil di provinsi Jawa Timur, namun walikota Blitar Anwar Samanhudi mempunyai ambisi yang kuat untuk memajukan daerah yang dipimpinnya. Dan dimulai dengan pembenahan sistem pendidikan dengan cara pemerataan pendidikan warga dengan menggratiskan biaya sekolah di semua jenjang. Pemikiran walikota yang lebih mendukung untuk semakin berkembang adalah meningkatkan pemahaman warganya terhadap teknologi informasi. Langkah awal dari pemikiran tersebut yaitu penyediaan jaringan wifi di seluruh penjuru kota dan membuat Blitar menjadi sebuah kota pintar yang tanggap atau melek teknologi. Jaringan wifi ini dapat diakses secara gratis oleh warga Blitar.
Benar-benar langkah awal yang baik sebagai upaya pembenahan sistem pendidikan di tanah air kita, dan juga merupakan usaha penyejahteraan warga. Semoga apa yang dilakukan kota pintar Blitar bisa menjadi motivasi untuk daerah-daearah lain yang juga mempunyai keinginan untuk pembenahan ke yang lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar