Apa yang Selama Ini Salah dalam Pendidikan ?

Fenomena pendidikan saat ini semakin menjadi perhatian. Bukan karena semakin baik kualitasnya, akan tetapi sebaliknya. Banyak sekali faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan semakin menurun, salah satunya adalah dari pelaku utama pendidikan itu sendiri. Orang tua yang selalu menuntut anaknya untuk memperoleh nilai akademik yang tinggi, guru yang mengajar sekedarnya dan anak didik kita yang selalu menjadi obyek dari semua itu.

Bagaimana cara meningkatkan prestasi akademik siswa tanpa harus menambah jam belajar dan tanpa harus disertai dengan sikap “keras” orang tua atau guru kepada anak atau siswa agar mau belajar ?

Jawaban pertanyaan tersebut, insyaAllah hanya akan tepat jika cara meningkatkan prestasi akademik siswa adalah dengan memanfaatkan berbagai sisi kekuatan yang dimiliki para siswa, bukan memanfaatkan sisi kelemahan mereka. Lalu bagaimana caranya ?

Ada tiga pelaku dalam sistem pendidikan yang memiliki pengaruh besar pada anak atau siswa. Tiga pelaku itu adalah orang tua, guru, dan siswa. Kita sebut saja segitiga pendidikan. Tentu saja masih ada pelaku-pelaku lain yang berpengaruh ke anak, misalnya kakak-adiknya dan teman-temannya di sekolah dan di rumah. Namun, kita tidak membahas pelaku yang lain dalam tulisan ini.

Saat ini kondisi segitiga pendidikan, kebanyakan terjadi seperti ini, ”Orang tua selalu benar, guru selalu benar, dan siswa sebagai obyek.” Kita bahas yang pertama, orang tua. Tidak sedikit orang tua dalam segitiga pendidikan itu berperan sebagai:

1. Sumber dana untuk pembiayaan pendidikan si anak. Sering kita dengar ucapan, “Kamu belajar yang rajin. Saya sudah capek-capek nyari uang untuk membiayai sekolah, kamu seenaknya sendiri sekolah!”

2. Bertindak sebagai “guru di rumah”, mengajari anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah (PR).

3. Bertindak sebagai “polisi” terhadap anak, dan menempatkan anak dalam posisi sebagai obyek yang selalu disalahkan.

4. Bertindak sebagai “guru” terhadap guru. Bila prestasi akademik anak rendah, tidak sedikit orang tua yang menyalahkan guru.

Kemudian pelaku kedua dalam segitiga pendidikan adalah guru. Tidak sedikit guru dalam segitiga pendidikan itu bertindak sebagai:

1. Guru sebagai penyampai materi yang begitu padat kepada para siswa. Guru mengejar target materi dalam waktu yang terbatas. Akibatnya, guru merasa “sudah benar” jika semua materi sudah disampaikan ke siswa sesuai waktu yang ditentukan. Jadi, fokus perhatian guru adalah pada “penyelesaian target materi pelajaran yang harus disampaikan ke siswa”, bukan pada “apakah yang disampaikan itu sudah dipahami oleh para siswanya.” Tentu saja tidak semua guru seperti ini.

2. Guru juga jarang melakukan introspeksi terhadap cara mengajarnya. Sebagai ilustrasi: jika dari 30 siswa di kelas, misalnya, yang mendapat nilai 5 untuk pelajaran matematika sebanyak 10 siswa, yang mendapat nilai 7 sebanyak 15 siswa, yang mendapat nilai 9 sebanyak 3 siswa, dan yang mendapat nilai 10 sebanyak 2 siswa; maka guru tidak merasa bersalah terhadap siswa yang mendapat nilai 5 tadi. Mengapa guru tidak merasa bersalah? Karena ada siswa yang mendapat nilai 7, 9, dan 10. “Ini ‘kan berarti bukan salah guru?” Bukankah demikian cara berpikirnya? Berbeda misalnya, kalau semua siswa mendapat nilai 5, guru bisa dipersalahkan.

Tidak sedikit anak atau siswa dalam segitiga pendidikan itu diperankan sebagai obyek yang diatur, bukan sebagai subyek yang disirami, dipupuk, dan dipelihara. Anak selalu disalahkan, secara singkatnya seperti ini,

1. Anak yang selalu dalam posisi salah. Misal saja, seorang siswa mendapat nilai 5 untuk matematika. Maka tanpa disadari, yang disalahkan segitiga sistem itu adalah si siswa. Entah dikatakan karena dia sulit untuk diajari, malas, tidak mau belajar dsb.

2. Anak atau siswa sebagai obyek yang diatur secara seragam, bukan sebagai subyek yang unik yang perlu penanganan secara unik pula.

Lalu bagaimana cara menyeimbangkan sgitiga pendidikan itu? “Orang tua introspeksi, Guru introspeksi, dan siswa sebagai subyek.”

Kondisi segitiga pendidikan akan lebih baik apabila:

1. Orang tua selalu melakukan introspeksi diri. Jika misalnya prestasi akademik anak rendah, orang tua bertanya dalam diri, “Apa yang salah dari saya? Apa yang kurang dari saya? Apa saya kurang memperhatikan anak saya? Apakah cara saya menasehati anak saya keliru? Apakah cara saya mengajari PR anak saya keliru? Apakah saya kurang khusyu’ berdo’a kepada Allah swt untuk anak saya? Apakah saya terlalu menekan anak saya? dsb.

2. Demikian juga dengan guru selalu melakukan introspeksi diri, jika misalnya prestasi akademik siswa rendah. Misalnya, “Apakah cara saya memberi nasehat anak didik saya keliru? Apakah cara mengajar saya yang kurang tepat? Apakah saya terlalu bertindak keras kepada siswa saya? Apakah para siswa sudah terlalu lelah belajar, sehingga tidak bisa menyerap materi yang saya ajarkan?” dsb.

3. Anak atau siswa terutama yang masih duduk di bangku SD sebaiknya dianggap tidak pernah salah. (Tuhan saja tidak memberikan dosa kepada anak kecil, apakah kita sebagai manusia akan bertindak seenaknya menyalahkan anak kecil?). Jika anak sudah SMP dan SMA sebaiknya ketiga pelaku tadi (orang tua, guru, anak/siswa) sama-sama melakukan introspeksi, artinya tidak boleh selalu menyalahkan siswa.

Baca Juga:

Nah, tugas kita sebagai orang tua atau guru adalah menghilangkan anggapan yang tanpa sadar telah ada di kepala kita, yaitu anak/siswa yang selalu salah. Agar mudah mengubah pola pikir dan sikap kita terhadap anak/siswa, kita ubah saja secara ekstrem bahwa anak yang selalu benar. Jika ada yang salah dari anak/siswa, sebaiknya orang tua/gurulah yang melakukan introspeksi, kemudian orang tua dan guru mengajak si anak melakukan introspeksi diri.

Anak adalah subyek dari segitiga pendidikan itu. Artinya setiap anak, baik yang masih duduk di bangku SD, SMP, maupun SMA, memiliki kekuatan yang unik. Tugas orang tua dan guru adalah melihat sisi kekuatan itu kemudian mengaktualisasikannya, khususnya untuk meningkatkan prestasi akademik.


sumber gambar: sutanagus.com & anneahira.com
sumber referensi: M. Musrofi, Melesatkan Prestasi Akademik Siswa

artikel ini juga dimuat di http://www.lamperan.net/

0 komentar:

Posting Komentar